KISAH FANI
Di sudut gerbang SMA Indonesia terlihat seorang gadis
yang sedang menunggu jemputannya dengan mengenakan ransel biru langit
kesayangannya. Gadis tersebut bernama Fani, ia merupakan gadis berumur 16 tahun
yang masih duduk di kelas 1 SMA. Tidak lama kemudian, sebuah mobil hitam kelam
berhenti di hadapannya.
“Non, ayo pulang!” kata seseorang di dalam mobil itu
yang ternyata adalah sopir Fani.
“Iya Pak. Tapi sebelum pulang, kita pergi ke warung
mie ayam di seberang jalan itu ya Pak. Perut Fani lapar banget nih,” sahut Fani
sambil memegang perutnya.
Mereka akhirnya pergi ke warung mie ayam, namun ketika
hendak memarkir mobil, terdengar suara teriakan dari belakang mobil Fani. Fani
segera turun dari mobilnya dan bergegas ke arah teriakan tersebut. Terlihat sosok
manusia berjubah hitam pekat dengan sepatu kulit merah kusam yang tersimpuh di
atas jalan. Fani langsung membantu orang tersebut untuk bendiri. Saat itu juga
Fani melihat mata hijau jamrud dari balik jubah orang itu. Kepala Fani terasa
sangat berat hingga Fani tidak kuat menahannya, dan akhirnya Fani jatuh
pingsan. Pak Bejo kebingungan melihat Fani yang tergeletak lemas di atas
lantai. Ia melihat ke sekeliling untuk mencari orang yang berteriak tadi, namun
anehnya Pak Bejo tidak melihat satu orangpun di daerah tersebut. Pak Bejo
semakin panik dan memutuskan untuk membawa Fani ke rumah.
Setelah beberapa jam kemudian, Fani belum juga sadar
dari pingsannya. Seluruh anggota keluarga Fani sangat khawatir dengan
keadaannya. Mereka memutuskan untuk menjaga Fani di kamarnya hingga Fani sadar.
Tengah malampun tiba, Fani mulai dapat membuka matanya
perlahan. Ia melihat kedua orang tuanya tertidur lemas di atas sofa di dalam
kamarnya. Ia mulai mencoba menggerakkan tangannya, lalu kakinya.
“Aduuuh,, perutku lapar banget. Ada makanan gak ya
tengah malam gini?” kata Fani perlahan.
Fani pergi ke dapur untuk mencari makanan, namun ia
tidak menemukan makanan di sana. Kemudian Fani membuka lemari es yang biasanya penuh
dengan makanan ringan, namun Fani juga tidak dapat menemukan makanan di sana.
Fani sangat kecewa, akhirnya ia memutuskan untuk tidur dan menahan rasa
laparnya hingga esok hari.
Fani mulai memejamkan matanya, ia tidur dengan sangat
lelap. Tiba-tiba Fani mendengar suara lonceng yang memekakan telinganya
sehingga ia terbangun. Ketika itu yang dilihatnya bukanlah kamarnya yang indah
dan rapi, namun sebuah hutan lebat yang di huni oleh banyak binatang aneh.
Diantaranya adalah seekor kelinci yang berukuran raksasa, kura-kura tak
bercangkang, ular tanpa kaki, burung elang tanpa paruh, dan yang lebih
menakutkan adalah pohon-pohon yang memiliki mata, hidung, dan mulut.Fani merasa
ketakutan, ia menatap sekelilingnya sambil menangis.
“Dimana aku ini? Aku ingin pulang!” teriak Fani.
“Tenang, jangan takut. Kamu berada di Negeri Mimpi.
Semua yang tidak bisa kamu lihat di dunia nyata bisa kamu lihat di sini. Jadi,
kamu jangan heran kalau kamu melihat sesuatu yang sangat aneh dan jauh berbeda dari
yang biasa kamu lihat di dunia nyata,” kata seseorang yang berdiri tepat di
belakang Fani.
Fani berpaling ke arah suara itu dan menatap mata
orang itu. Matanya tidak asing lagi bagi Fani, cahaya hijau jamrud tajam
bersinar dari mata orang tersebut.
“Kamu! Kamukan orang yang aku temui tadi. Kamu yang
sudah buat aku pingsan. Ngapain kamu di sini?”tanya Fani ketakutan.
“Namaku Lei, maaf tadi aku sudah membuat kamu jatuh
pingsan. Sebernarnya aku tidak bermaksud membuat kamu pingsan, mungkin karena
cahaya mataku yang terlalu tajam di dunia nyata membuat kamu sakit kepala
melihatnya. Untuk menebus kesalahanku aku akan menjamu kamu dengan banyak
makanan di hutan sana. Aku tahu perut kamu sangat lapar, mari ikut denganku!”
ajak Lei sang manusia berjubah.
Dengan lugunya Fani mengikuti Lei masuk menelusuri
hutan. Semak-semak belukar yang berdesis saat itu membuat Fani merinding. Hawa
dingin hutan itu menusuk ke seluruh tulang Fani. Namun semuanya menjadi terasa
semakin hangat ketika ia melihat sebuah gubuk di tengah hutan. Lei mengajak Fani
masuk ke dalam gubuk tersebut. Terlihat berbagai jenis mie yang dihidangkan di
atas meja. Gadis penggemar mie ini pun tidak segan-segan menyantap berbagai
hidangan mie tersebut. Perut Fani yang belum terisi sejak tadi siang membuat
Fani sangat lahap menyantap hidangan yang ada di atas meja, hingga tak terasa
ia menghabiskan seluruh hidangan tersebut. Beberapa detik kemudian, hawa hangat
yang menyelimuti gubuk itu berubah menjadi hawa yang tidak bersahabat. Suhu
udara di sekitar gubuk meningkat seakan membakar kulit Fani, cuacapun berubah
menjadi hitam kelam. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh petir, dan terlihat
sosok bayangan hitam di depan gubuk. Fani keluar dari gubuk untuk melihat sosok
apakah itu. Sosok tersebut terlihat seperti nenek-nenek berambut putih panjang,
dengan tongkat ular hijau yang sudah lapuk.
“Hahahahahaha, anak lugu yang sangat manis, dan rakus!
Hahahahahahaa, kerakusanmu telah membebaskanku dari kurungan maut penduduk
Negeri Mimpi. Sekarang aku akan menjadi penguasa Negeri Mimpi kembali.
Hahahahhahahahhaha,” kata sosok tersebut yang ternyata adalah penyihir jahat
bernama Regina.
“Siapa kau? Apa maksud dari semua ini? Aku tidak
mengerti,” jawab Fani dengan nada ketakutan.
“Faniku sayang, dulu aku adalah penguasa di Negeri
Mimpi ini. Dulu negeri ini adalah negeri yang sangat menyenangkan buatku. Penuh
siksaan, kesedihan, penuh permusuhan, dan yang pasti tidak ada kedamaian
seperti sekarang ini. Namun suatu ketika, penduduk Negeri Mimpi mengadakan
pemberontakan dan mereka semua bersatu membuat sebuah ritual untuk mengurungku
di hutan ini. Batas waktu kurunganku adalah hidangan mie yang kamu makan tadi.
Satu helai mie berarti satu tahun tahanan buatku. Jika mie itu termakan habis
oleh manusia dari dunia nyata, maka waktu tahanan untukku akan punah. Aku
menugaskan pesuruhku yang bernama Lei untuk mencari seorang manusia lugu dari
dunia nyata yang mudah untuk dipengaruhi. Dan kau adalah manusia yang tepat
Nak! Kemudian aku menyuruh Lei untuk menghipnotismu di kala kamu sedang lapar.
Dengan tujuan ketika kau masuk ke Negeri Mimpi,kamu dalam keadaan lapar dan
dapat menghabiskan semua hidangan mie yang ada di gubuk itu. Hahahahhahaa… Dan
kau! Kau telah berhasil memakan seluruh hidangan mie, kau telah berhasil membebaskanku.
Hahahhahaa,” kata Regina.
“Tidak! Tidak mungkin! Tidak! Ini hanya mimpi. Aku
harus segera bangun dari mimpi buruk ini,” teriak Fani sambil menampar-nampar
wajahnya.
“Hahahahaha…. Percuma! Kau tidak akan bangun dari
mimpi ini sebelum ada orang yang membangunkanmu! Hahahhahahahhahahhaha,” kata
Regina.
Fani tetap menangis memohon agar dirinya terbangun
dari mimpi buruknya. Tidak lama kemudian terpancar sinar dari batu permata
merah delima ke arah penyihir jahat.Penyihir tersebut menghilang, dan datanglah
penjaga hutan berbadan besar dengan kalung batu merah delima di lehernya.
“Apa yang kamu lakukan di hutan ini? Apa yang telah
kamu perbuat? Kamu telah makan semua mie di dalam gubuk itu? Apa kamu sadar
perbuatan yang kamu lakukan itu membahayakan seluruh penduduk Negeri Mimpi!”
kata penjaga hutan tersebut.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuat negeri ini
menjadi kacau. Aku benar-benar merasa lapar saat itu, aku tidak tahan melihat
berbagai macam mie di dalam gubuk sana. Sekali lagi maafkan aku,” kata Fani
sambil menangis di kaki penjaga hutan.
“Sudah! Sekarang kamu ikut aku!” perintah sang penjaga
hutan.
Penjaga hutan menyeret paksa Fani keluar hutan,
kemudian Fani dibawa ke segerombolan orang di sebuah desa. Fani terkejut karena
ia melihat penduduk Negeri Mimpi terlihat seperti manusia di dunia nyata.
Penjaga hutan menceritakan semuanya pada para penduduk, dan Fani mencoba
menatap seluruh penduduk yang berkumpul di desa itu. Sorot mata para penduduk
tampak seperti api yang membara yang dipenuhi dengan kebencian. Fani sadar
ekspresi penduduk menampakkan mereka sangat marah padanya, Fanipun langsung
mengumpulkan keberanian untuk meminta maaf pada mereka semua. Namun penduduk
tidak bisa memaafkannya, Fani telah membuat satu kesalahan besar yang sulit
diampuni. Akhirnya Fani dikutuk akan terus masuk ke dalam Negeri Mimpi sampai
ia dapat menyelesaikan masalahnya. Fani benar-benar tidak sanggup dengan
kutukan itu, ia berlari ke belakang pohon untuk menenangkan dirinya. Ia tidak
dapat berfikir lagi, selainberfikir tentang bagaimana ia dapat mengalahkan sang
penyihir tanpa bantuan dari penduduk Negeri Mimpi.
Suara isak tangisan Fani menghiasi malam dingin di
Negeri Mimpi. Tangisannya mengundang seorang pemuda datang menghampirinya.
“Kamu Fany? Kenalin, aku Rey,” kata pemuda itu
menjulurkan tangannya ke arah Fani.
“Kenapa kamu di sini? Bukannya seluruh penduduk Negeri
Mimpi marah padaku atas kesalahanku itu?” tanya Fani dengan wajah sedih.
“Ya, itu memang benar. Aku sebenarnya juga marah sama
kamu, tapi aku gak tega aja liat nasib kamu. Aku gak bisa ngebayangin kalau aku
yang ada di posisi kamu, aku mau kok bantu kamu menyelesaikan masalah ini,”
sahut Rey.
“Beneran? Kamu yakin masalah ini dapat diselesaikan
hanya dengan kedua tangan kita berdua?” tanya Fani.
“Sebenarnya sih sangat mustahil, tapi kita wajib
mencoba,” jawab Rey sambil tersenyum ke arah Fani.
Fani senang karena ia sekarang telah memiliki
seseorang yang berada di pihaknya. Di tengah kesenangan itu, tiba-tiba Regina
datang dan mengarahkan tongkat ularnya ke arah pohon di belakang Fani dan Rey.
Mereka kaget dengan kehadiran penyihir jahat itu, kemudian Fani dan Rey lari
menjauhi Regina.
“Fani, ayo cepat lari! Kita lari ke rumahku saja!”
ajak Rey.
Mereka berdua lari dengan nafas terengah-engah. Di
tengah jalan, sebilah kayu menghalangi kaki Fani untuk melangkah. Fani terjatuh
mengeluh kesakitan, sementara Regina terlihat semakin dekat dari kejauhan.
“Fani, ayo lari!” perintah Rey.
“Kakiku sakit, rasanya tidak mungkin lagi aku lari.
Tinggalkan aku di sini dan selamatkan dirimu
Rey!” kata Fani.
“Tidak mungkin aku melakukan tindakan bejat seperti
itu,” jawab Rey.
Rey kemudian memutuskan untuk menggendong fani di
bahunya.Ia lari sekuat tenaga melewati berbagai pohon yang menghadang. Rumah
Rey sudah tampak di depan mata, Rey dengan semangat lari ke arah rumahnya.
Namun, cahaya hijau jamrud tiba-tiba muncul dari tongkat ular Regina dan
mengarah ke tubuh Rey. Tubuh Rey serasa lemas tak berdaya. Pandangannya mulai
kabur, ia hanya melihat sekelilingnya berubah menjadi warna putih terang yang
menyilaukan mata. Fanipun menangis di
atas tubuh Rey, kemudian ia mendengar bisikan suara yang tampaknya itu adalah
suara ibu Fani yang mencoba membangunkannya. Mata Fani terbuka, ia sadar bahwa
sekarang ia sudah ada di atas kasurnya yang lembut dan hangat. Terlihat ibu dan
ayah Fani tersenyum ke arahnya. Fanipun langsung memeluk mereka.
“Ibu, ayah, aku merindukan kalian,” kata Fani sambil
menangis dan merangkul kedua orang tuanya.
“Kami berdua juga merindukanmu Nak, kami sangat
mengkhawatirkanmu,” balas kedua orang tuanya.
Fani bahagia karena sekarang ia berada di dunia nyata.
Tempat dimana ia seharusnya berada bersama keluarganya,teman-temannya, dan
sanak saudara.
Sejak saat itu, Fani sangat takut ketika ia hendak
tidur. Ia tidak mau kembali ke Negeri Mimpi itu, ia ingin kehidupannya kembali
normal seperti dulu, dan pada akhirnya ia memutuskan untuk tidak tidur. Fani
sudah berusaha tidak tidur selama 3 hari, matanya sembam bak bulan mengantuk. Namun
takdir pada akhirnya membawa ia kembali ke Negeri Mimpi. Fani tertidur di atas
sofa ruang tamu, ia sudah tidak tahan dengan rasa kantuk yang luar biasa itu.
Fani membuka matanya perlahan dan ia melihat sebuah
perapian hangat di depannya, ternyata ia sudah berada di rumah Rey. Ia melihat
Rey sedang belajar bersama seorang temannya di atas sofa. Fani mencoba bangkit
dari tidurnya dan pergi ke arah Rey.
“Rey, maafkan aku. Aku sudah membuatmu celaka waktu
itu. Gara-gara aku kamu jadi di serang oleh Regina,” kata Fani sambil
menundukkan kepala.
“Oh, jadi ini yang namanya Fani. Perkenalkan namaku
Derby, aku teman Rey sejak kecil. Rey sudah menceritakan semuanya padaku,” kata
Derby sambil tersenyum.
“Rey juga sudah menceritakan tentang aku yang
mencelakakannya?” tanya Fani.
“Rey itu cowok yang baik, pemalu, dan tertutup. Dia
tidak pernah menyalahkanmu tentang kecelakaan itu,” sahut Derby.
Fani langsung bersujud di kaki Rey dan meminta maaf sambil
meneteskan air mata. Dan saat itulah Fani sadar bahwa Rey kehilangan kaki
kanannya. Fani semakin tak kuasa menahan tangisnya, hatinya tersentuh, ia
merasa sangat bersalah. Tangan Rey mengusap air mata Fani dan mencoba
menenangkan Fani.
“Gara-gara kecelakaan itu kamu jadi kehilangan kaki
kananmu? Iya kan?” tanya Fani sambil menangis.
“Sudahlah Fani, ini bukan salahmu. Reginalah yang menyebabkan
aku kehilangan kaki kananku. Lagian kata tabib, tidak lama lagi kakiku akan
tumbuh kembali,” jawab Rey.
Fani kaget dengan jawaban Rey, ia heran mengapa kaki
bisa tumbuh kembali. Tapi, kemudian ia sadar bahwa ia sedang berada di Negeri
Mimpi yang semuanyapun bisa terjadi di sini.
Beberapa jam kemudian, Derby mengajak Fani dan Rey
jalan-jalan. Ia ingin memberitahukan keindahan Negeri Mimpi pada Fani. Dengan
senang hati Fanipun menerima ajakan Derby. Rey juga tetap semangat untuk
jalan-jalan, meski tanpa kaki kanannya. Rey duduk di kursi roda yang di dorong
oleh Fani dan Derby. Mereka bertiga jalan-jalan di atas bukit yang sangat indah
dengan bunga-bunga yang bernyanyi merdu. Perasaan Fani sangat senang, kalau
saja dia tidak membuat penyihir jahat keluar dari kurungannya, pasti ia akan
sangat ingin masuk ke Negeri Mimpi disetiap tidurnya. Sepanjang perjalanan, Fani
dan Derby semakin akrab. Mereka bercanda, bernyanyi bersama, dan saling
menceritakan tentang perbedaan dunia nyata dan mimpi. Sementara Rey hanya
terpaku duduk di atas kursi rodanya. Entah mengapa hatinya merasa sakit ketika
melihat Fani dan Derby sangat akrab.
Waktu bergulir begitu cepat, dan membawa mereka
bertiga ke sebuah danau yang berisi jutaan peri. Fani terpesona melihat
peri-peri mungil cantik yang sedang bermain air di danau.
“Apa aku tidak salah lihat? Itu peri? Ini benar-benar
negeri yang menakjubkan,” kata Fani dengan senyum manis di bibirnya.
“Iya, peri-peri itu selalu bermain air setiap harinya,
dan selalu melukiskan senyum di bibirnya setiap saat,” kata Rey.
“Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi
pada peri-peri itu setelah Regina berhasil menguasai Negeri Mimpi ini,” kata
Fani sambil menundukkan kepalanya.
“Tenang Fani, kita berdua pasti membantumu untuk
menyelesaikan masalah ini. Ya kan Rey?” sahut Derby sambil tersenyum ke arah
Rey.
“Ya, tentu,” jawab Rey.
Mereka bertiga merencanakan tentang perlawanan mereka
terhadap si penyihir jahat. Tetapi tidak satupun dari mereka yang memiliki ide
tentang perlawanan terhadap sang penyihir. Akhirnya mereka memutuskan untuk
pulang ke rumah Rey, karena ternyata hari sudah semakin gelap. Di perjalanan
menuju ke rumah Rey, Derby terlihat gugup sambil mengeluarkan sebuah mahkota
indah yang terbuat dari rangkaian ilalang dan bunga kering dari dalam tasnya.
“Fan, ini untukmu. Tadi di sekitar danau aku menemukan
sekumpulan ilalang dan bunga kering, lalu aku membuat mahkota ini untukmu. Kamu
pasti tambah cantik dengan mahkota ini,” kata Derby sambil memberikan rangkaian
mahkota kepada Fani.
“Terima kasih, mahkota ini sangat cantik,” jawab Fani
dengan tersenyum malu.
Di sisi lain, hati Rey terasa sangat sakit. Ia hanya
dapat tersenyum dibalik tangisan hatinya. Ia lebih memilih untuk diam selama
perjalanan ke rumah.
Mereka tiba di rumah Rey tepat saat matahari sudah
menutup wajahnya. Ketika meraka membuka pintu rumah, terlihat meja dan kursi
yang sudah berserakan, di sudut rumah tampak orang tua Rey menangis di atas
tubuh mungil anak perempuan.
“Ayah, Bu, apa yang telah terjadi?” tanya Rey sambil
merangkul kedua orang tuanya.
“Nak, tadi Regina datang ke sini. Ia merusak rumah
kita. Dia juga membunuh beberapa tetangga kita, dan dia juga telah membunuh
Raisha,” jawab Ibunya.
Pada saat itu Rey seperti disambar petir, ia tidak
sanggup melihat tubuh adiknya terkulai lemas di lantai dengan lumuran darah
yang keluar dari mulutnya. Hati Rey sekarang penuh dengan dendam dan kebencian.
Ia benar-benar sangat ingin membunuh Regina. Ia memandang ke langit-langit yang rusak
akibat ulah Regina. Tiba-tiba kakinya terasa sakit, Rey menjerit hingga urat
nadi di lehernya tampak timbul seperti ulat yang bercabang-cabang. Sedikit demi
sedikit sel-sel kaki kanan Rey mulai menyatu, tulang-tulang kakinya mulai
memanjang, kemudian tumbuh daging yang menyelimuti kerangka tulang itu, dan
yang terakhir muncullah kulit kuning langsat yang mulai menyatu dengan segumpal
daging yang telah tumbuh. Kaki Rey telah tumbuh kembali, ia mulai bisa berjalan
seperti keadaan normal. Mata Rey mulai meneteskan air mata, air mata haru yang
masih dihiasi kesedihan akan kematian adiknya.
Tak lama kemudian, Rey keluar dari rumahnya yang
kemudian disusul oleh Fani dan Derby. Ia membunyikan sebuah peluit yang
terletak di dinding luar rumahnya. Tiba-tiba awan berdatangan menyelimuti
gelapnya langit pada malam itu. Segerombolan orang datang menuju rumah Rey.
Ternyata peluit itu adalah peluit pemanggil penduduk. Setiap rumah terdapat
satu peluit yang dapat digunakan untuk memanggil seluruh penduduk Negeri Mimpi.
Setelah seluruh penduduk berkumpul, Rey langsung memberitahukan kejadian yang
telah terjadi, dan ia mengajak seluruh penduduk untuk ikut serta melawan si
penyihir jahat.
“Kita tidak bisa tinggal diam! Sebelum korban semakin
banyak, kita harus segera mengatasi masalah ini,” kata Rey kepada penduduk.
“Setuju! Tapi bukankah gadis itu yang seharusnya
menyelesaikan masalah ini? Dialah yang membuat Regina keluar dari kurungannya!”
kata salah satu penduduk Negeri Mimpi.
“Pak, maafkan aku. Aku tahu ini semua salahku. Aku
berjanji akan menyelesaikan masalah ini. Tapi rasanya tidak mungkin jika hanya aku
saja yang melawan Regina. Regina itu penyihir yang sangat jahat dan hebat,
sedangkan aku? Aku tidak memiliki kekuatan sedikitpun. Aku berharap kalian
dapat membantuku,” kata Fani sambil menangis.
Seluruh penduduk Negeri Mimpi akhirnya mau membantu
Fani. Mereka semua berencana untuk menyerang kerjaan sang penyihir yang
terletak di atas Gunung Misteri besok malam.
Setelah rencana telah ditetapkan, penduduk Negeri
Mimpi pulang ke rumah mereka masing-masing. Setelah penduduk pulang, keluarga
Rey memakamkan Raisha di belakang rumah mereka. Keluarga Rey merasa sangat kehilangan
sosok gadis kecil mungil yang penuh dengan canda tawa itu. Setelah selesai
pemakan, mereka masuk ke dalam rumah. Mereka duduk di sofa sambil termenung. Di
sisi lain Fani bingung tentang apa yang harus ia perbuat, dia sama sekali tidak
tahu harus membantu penduduk Negeri Mimpi dengan cara apa.
“Fan, kenapa kamu kelihatan bingung gitu?” tanya Rey.
“Aku merasa gak berguna Rey, aku gak bisa bantu
kalian. Aku gak punya kekuatan sihir, aku gak bisa apa-apa. Aku hanya menambah
beban kalian saja. Padahal akulah yang memulai malapetaka ini,” jawab Fani
“Jangan berkata seperti itu, kamu berguna kok. Sudah!
Sekarang kita harus siap-siap untuk besok malam,” kata Rey.
Mereka bertiga sibuk mempersiapkan perang untuk besok
malam. Rey berlatih mantra perang, Fani sedang memikirkan taktik perang, dan
Derbi sedang sibuk berkonsentrasi mencoba mengetahui tentang hasil akhir
perang.
“Bagaimana Derby? Apa kamu berhasil membaca akhir dari
perang besok malam?” tanya Rey.
“Belum, kau tahu sendiri kan di sekolah aku termasuk
siswa yang selau mendapat nilai F,” jawab Derby dengan wajah kesal.
”Kau bisa membaca masa depan?” tanya Fani.
“Ya, aku sekolah di jurusan membaca pikiran. Di Negeri
Mimpi hanya terdapat satu sekolah yang terdiri dari empat jurusan, yaitu
jurusan mantra sihir, membaca pikiran, hipnotis, dan daya cepat. Rey masuk ke
jurusan mantra sihir, dan dia sangat mahir tentang itu,” jawab Derby sambil
tersenyum kepada Fani.
Fani sangat tertarik dengan semua jurusan yang
diajarkan di Negeri Mimpi ini. Dia berfikir andai saja di dunia nyata ada
sekolah yang terdapat jurusan-jurusan seperti itu.
Malam semakin larut, Fani berkeliling di rumah Rey dan
ia menemukan sebuah rak buku yang penuh dengan buku tua kusam di dalamnya. Ia
mengambil satu buku tentang mantra-mantra. Fani mulai membuka buku tersebut dan
mempelajarinya. Sebelum itu, ia melihat ke sekeliling rumah untuk memastikan
keadaannya aman. Ia melihat Rey sedang sibuk menulis di selembar kertas putih,
dan Derby yang sudah terlentang di atas sofa. Fani mempelajari mantra-mantra
tersebut dengan penuh semangat hingga ia tertidur di atas buku mantra itu.
Keesokan harinya, mereka bertiga pergi ke pasar untuk
membeli makanan. Di tengah pasar, terdapat sebuah atraksi sulap yang sangat
memikat hati Fani.
“Fan, ini nih trik yang akan kamu dapat kalau kamu
bersekolah di jurusan daya cepat. Sebenernya aku sangat menginginkan jurusan
ini, namun ayahku memaksaku untuk memilih jurusan membaca pikiran. Karena jurusan
yang aku ambil tidak sesuai dengan keinginanku, akhirnya aku sulit untuk
menyerap pelajaran yang aku dapat di jurusan membaca pikiran, dan akhirnya aku
selalu dapa nilai F deh,” kata Derbi sambil menunduk malu.
“Jangan menyerah Derbi, tetap semangat!” kata Fani.
Mereka terus berjalan menyusuri keramaian pasar untuk
mencari makanan.. Ketika tiba di sebuah warung yang menyediakan berbagai macam
makanan, mereka bertiga langsung memesan makanan dan melahap makanan tersebut.
Setelah merasa kenyang, mereka hendak kembali ke rumah Rey. Tiba-tiba mata Fani
terpikat dengan suatu toko tua di pinggir jalan yang menyediakan berbagai
tongkat sihir. Fani mengajak Rey dan Derby untuk mampir ke toko itu. Fani ingin
memiliki sebuah cindera mata dari Negeri Mimpi ini untuk dibawa pulang ke dunia
nyata. Fani membeli tongkat sihir kayu yang diujungnya terdapat bulu burung
cendrawasih yang berwarna biru laut.
Hari sudah semakin gelap, semua penduduk sudah
berkumpul di rumah Rey. Sebelum berangkat berperang, seluruh penduduk
mengadakan ritual agar mereka semua diselamatkan dari kejahatan sang penyihir
jahat. Setelah ritual selesai, mereka semua berangkat ke Gunung Misteri dengan
menggunakan transportasi yang terlihat seperti kereta kuda.
Fani, Rey, dan Derby berada di satu kereta kuda. Wajah
mereka tampak gugup bercampur takut. Fani duduk melamun, Derby tampak gelisah
sambil memegang buku tentang cara membaca masa depan, sedangkan Rey menundukkan
kepala sambil memegang sepucuk kertas putih yang ia tulis tadi malam.
“Fan, sebelum perang ini dimulai, aku mau mengatakan
satu hal kepadamu. Aku suka sama kamu,” kata Derby sambil menatap Fani cemas.
Fani kaget dan menundukkan kepalanya, tidak ada satu
katapun yang keluar dari mulutnya. Di sisi lain, Rey merasa sangat sedih. Ia
memasukkan kertas yang dipegangnya ke dalam saku jaketnya. Tidak sengaja dia
meneteskan air mata, dan air matanya mengenai Derbi.
“Rey, kamu menangis?” tanya Derby.
“Tidak, mungkin mataku terkena debu,” jawab Rey.
Sepanjang perjalanan, suasana menjadi hening dan sunyi
setelah Derby menyatakan perasaannya pada Fani. Mereka bertiga saling tidak
bicara, sampai pada akhirnya kereta berhenti yang menandakan mereka sudah
sampai di tempat tujuan.
Derbylah yang pertama turun dari kereta, kemudian
disusul oleh Fani. Namun, ketika Fani hendak turun dari kereta, tangan Rey
menarik tangan Fani.
“Fan, aku berharap di perang ini kita yang menang,
agar kamu bisa segera terlepas dari rasa bersalahmu. Aku punya sesuatu untuk
kamu, ambil ini,” kata Rey sambil mengeluarkan kertas putih yang tadi ia
masukkan ke dalam saku jaketnya.
“Apa ini?” tanya Fani dengan wajah kaget.
“Kamu buka sendiri nanti, kamu harus baca setelah
perang ini berakhir. Ingat sekali lagi, bacalah di Negeri Mimpi ini sebelum
kamu pulang ke duniamu, aku akan
menunggumu,” kata Rey.
Fani bingung dengan kata-kata Rey, namun kebingungan
itu serasa hilang setelah perang di mulai. Gemuruh mantra diucapkan tanpa
henti, berbagai macam api yang keluar dari tangan prajurit Regina berusaha
melukai penduduk Negeri Mimpi. Regina menyihir batu-batu agar terlempar ke para
penduduk. Ia juga menyihir berbagai macam binatang menjadi tumbuh besar sekali
dan menjadi jahat.
Satu per satu penduduk Negeri Mimpi meninggal dalam
peperangan, sekarang Regina sangat yakin bahwa dia akan memenangkan peperangan
ini. Rey dan Derby tetap semangat dalam perang ini, mereka tidak putus asa
untuk menegakkan kebenaran. Fanipun juga demikian, meski ia tidak memiliki
kekuatan sihir, tetapi dia berusaha melawan prajurit Regina dengan semampunya.
Tiba-tiba terdengar suara harimau raksasa yang berada
tepat di belakang Fani. Fanipun lari dengan kencang untuk menghindari sang
harimau. Fani memukuli harimau itu dengan berbagai ranting yang ia temukan di
atas jalan. Harimau itu marah dan semakin mengejar Fani, hingga pada akhirnya
Fani terperangkap antara jalan buntu dan sang harimau.
Fani menangis, ia tidak tahu apa yang harus ia
perbuat. Yang ada di benaknya sekarang adalah rasa penyesalan karena dia sudah
membuat suatu kesalahan besar dalam hidupnya. Kecerobohannya telah membuat
hidup orang lain susah. Dan yang paling ia takuti, ia tidak bisa lagi bertemu
dengan kedua orang tuanya.
Desah nafas harimau semakin terdengar dekat dengan
dirinya. Namun Rey mengucapkan mantra ke arah harimau tersebut, sehingga
harimau itu berubah menjadi seekor kucing. Fani menghela nafasnya dan berterima
kasih pada Rey.
“Aku akan selalu melindungimu,” kata Rey sambil
mengelus rambut Fani.
Peperangan belum juga selesai, penduduk masih melawan
para prajurit. Kegigihan penduduk Negeri Mimpi mebuat Regina marah dan akhirnya
ia memutuskan turun dalam peperangan. Langit menjadi hitam kelam tak berawan,
bintang-bintang berjatuhan dari tempatnya, angin semilir membangunkan rasa
mistis. Regina berjalan mendekati Fani dan menodong wajahnya dengan tongkat
ularnya.
“Hai anak manis, sekarang aku tidak akan membiarkanmu
lolos dariku untuk yang kedua kalinya. Aku akan membunuhmu!” teriak Regina
sambil membaca mantra kematian.
Namun,
Fani bergerak cepat dan mengeluarkan tongkat sihirnya yang ia beli di pasar
tadi pagi.
“Selena
sanatar,” sebuah mantra keluar dari bibir mungil Fani sambil menodongkan
tongkat sihirnya ke arah Regina.
Regina terlempar ke puncak gunung, kemudian gunung itu
terbang dan berbalik menindihi tubuh Regina. Semua prajurit Reginapun musnah
dari hadapan penduduk. Perang telah selesai, Fani telah berhasil melunasi
hutangnya kepada Negeri Mimpi. Penduduk Negeri Mimpi akhirnya dapat memaafkan
Fani.
Setelah perang selesai, Fani, Rey, dan Derby pulang ke
rumah Rey.
“Waw, keren! Dari mana kamu belajar mantra kutukan
gunung?” tanya Derby dengan wajah kagum.
“Aku mempelajarinya dari buku milik Rey,” jawab Fani
sambil tersenyum ke arah Rey.
Waktu semakin cepat bergulir, keluarga Rey ingin
membuat suatu pesta perpisahan untuk Fani. Ketika pesta perpisahan berlangsung,
Fani menggunakan gaun rajutan ibu Rey. Ia terlihat sangat cantik sehingga
membuat Rey dan Derby terpesona melihatnya.
“Apakah kamu sudah membacanya?” kata Rey malu-malu.
Ketika Fani hendak menjawab pertanyaan dari Rey, dia
mendengar suara ayahnya yang membangunkan dirinya.
“Fan, kamu kok tidur di sofa? Ayo kembali ke kamarmu
sana!” kata ayah Fani.
Fani sekarang sadar bahwa ia sudah berada di dunia
nyata. Ia tidak akan pernah kembali ke Negeri Mimpi itu lagi, karena urusannya
di negeri itu telah selesai. Fani melihat ada sebuah kertas di genggaman
tangannya. Kertas itu adalah kertas yang diberikan Rey pada saat akan perang.
Rey menyuruh fani membaca kertas itu sebelum ia pergi ke dunia nyata, namun
Fani belum sempat membacanya di Negeri Mimpi, dan ia sangat menyesal. Akhirnya ia
mulai membaca isi dari secarik kertas putih itu.
Hai fani.
Seumur hidupku aku belum pernah merasakan rasa seperti
ini. Aku bingung dengan perasaanku ini. Berawal dari pertemuan pertama kita di
balik pohon, dan berujung di peperangan yang sangat memacu adrenalin.
Aku menyukaimu, aku ingin sekali mengungkapkan ini
semua padamu. Namun apa daya aku tidak memiliki keberanian seperti yang
dimiliki Derbi. Jujur aku sangat cemburu ketika kamu dekat bersama Derby, aku
sempat berfikir untuk tidak mengatakan semua ini padamu. Tapi aku yakin, aku
pasti menyesal jika tidak memberitahumu tentang perasaanku ini.
Aku tahu kita berbeda, bukan hanya beda kota, atau
beda agama, tapi kita beda dunia. Kita tidak akan pernah bersatu. Tapi hatiku
mengatakan bahwa kamu juga mencintaiku. Aku mempunyai satu permintaan sebelum
kamu pergi. ‘AKU JUGA MENCINTAIMU’, hanya kata itu yang aku tunggu di ujung
pertemuan kita. Aku akan menunggumu.
Tetes demi tetes air mata Fani jatuh di atas coretan
pena kertas itu, ia sangat menyesal karena ia belum sempat mengatakan bahwa ia
juga mencintai Rey, yang mungkin merupakan cinta pertama baginya.
Setiap malam Fani selalu berdoa agar ia dapat bermimpi
masuk ke dalam Negeri Mimpi lagi. Namun takdir berkata lain, Fani tidak pernah
memimpikan Negeri yang penuh cinta itu. Cinta pertamanya hanya bisa ia lihat di
dalam kenangan dan khayalannya.
KARYA :
ANNISA SARFINA DJUNAEDY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar