Pada
suatu hari, hiduplah sepasang sahabat bernama Hana dan Naru. Mereka sangat
senang berpertualang dan bermain. Hana dan Naru memiliki markas rahasia yang
terletak di sebuah gua di belakang sekolah. Suatu hari sepulang sekolah, mereka
pergi ke markas mereka. Di sana, mereka hendak menggali uang tabungan mereka
yang dikubur di dalam gua.
“Naru,
ayo gali tanahnya! Aku sudah tidak sabar melihat kotak peti yang penuh dengan
uang hasil jerih payah kita menabung selama ini,” kata Hana penuh semangat.
Ketika
Naru menggali tanah, yang Naru temukan bukanlah kotak peti tempat penyimpanan
uang Hana dan Naru, melainkan sebuah pegangan pintu yang terbuat dari besi.
Naru sangat kaget dan heran dengan kejadian tersebut. Karena penasaran, Naru
melanjutkan menggali tanah dan menemukan sebuah pintu berukuran persegi.
“Hana,
lihat ini! Ini terlihat seperti pintu, tapi pintu apa ini?” tanya Naru pada Hana.
“Iya
Naru, aku juga tidak tahu ini pintu apa. Bagaimana kalau kita buka saja pintu
ini?” tanya Hana kembali.
Kemudian Hana dan Naru membuka pintu tersebut. Mereka
sangat kaget ketika melihat sebuah kota bawah tanah dan penghuninya yang
terlihat di balik pintu tersebut.
“Apa
aku tidak salah lihat? Benarkah ini semua? Ada kota di bawah tanah?” tanya Hana
kaget.
“Aku
juga tidak percaya Hana, bagaimana kalau kita telusuri kota ini?” Naru mengajak
Hana dengan wajah memohon.
“Baiklah
kalau begitu,” jawab Hana.
Mereka
segera melompat melewati pintu yang mereka temukan. Hana dan Naru terjatuh di
tumpukan kardus-kardus bau, yang ternyata tempat mereka mendarat itu adalah
tempat sampah. Mereka segera bangun dari tumpukan kardus tersebut dan melihat
sekeliling kota. Hana dan Naru sangat terpesona melihat keindahan sebuah kota
bawah tanah yang tidak jauh beda dari kota-kota yang biasa mereka lihat.
Setelah lama berdiri memandangi sekeliling kota, Hana dan Naru kemudian pergi
jalan-jalan. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan sepasang kakak beradik
penjual permen.
“Permisi,
boleh kami membeli 5 biji permen?” tanya Hana pada penjual permen.
“Boleh,
semuanya 1000 logam,” jawab penjual tersebut sambil menjulurkan 5 biji permen dari
keranjang yang dibawanya.
“Logam?
Apa itu mata uang kota ini?” tanya Hana pada penjual permen dengan wajah
kebingungan.
“Iya,
logam memang mata uang Kota Panji sejak dahulu kala. Kenapa kalian terlihat
bingung seperti itu? Sepertinya ada yang aneh,” kata penjual permen.
“Nama
saya Naru, dan ini teman saya Hana. Kami masuk ke kota ini melewati sebuah
pintu yang kami temukan di gua belakang sekolah kami,” kata Naru mengalihkan
pembicaraan.
“E….e….
nama saya Nori, dan ini adik saya Jum. Owh ya saya harus segera pulang, ini
permennya saya kasih gratis,” kata Nori terburu-buru.
Nori
dan Jum langsung pergi meninggalkan Hana dan Naru. Setelah beberapa detik
kemudian, Hana dan Naru memutuskan untuk membuntuti mereka. Ternyata Nori dan
Jum tingggal di sebuah rumah sederhana. Mereka hanya tinggal bersama kakeknya,
karena orang tua mereka telah meninggal dunia 10 tahun silam.
Secara
tidak sengaja, Hana menjatuhkan sebuah guci di rumah Nori, sehingga Nori
mendengarnya dan mengetahui bahwa Hana dan Naru mengikutinya. Nori segera
mendekati Hana dan Naru lalu memarahi mereka. Akan tetapi, di tengah
perselisihan tersebut, terdengar suara serak berwibawa dari balik sofa.
“Hentikan
Nori! Apa yang telah kamu lakukan! Kamu tidak sepantasnya memarahi orang
seenakmu saja!” bentak kakek Nori yang bernama Kakek Zalo.
“Dia bukan penduduk Kota Panji
Kek!” jawab Nori dengan wajah sebal.
Kakek
Zalo tidak mengabaikan kata-kata Nori, ia malah meminta Hana dan Naru
menceritakan bagaimana mereka bisa sampai ke kota bawah tanah ini. Kemudian Hana
dan Naru menceritakan pada Kakek Zalo bahwa mereka masuk melalui sebuah pintu
yang mereka temukan di dalam gua.
“Pintu
itu memang merupakan pintu jembatan antara bawah tanah dan permukaan tanah.
Dalam sejarahnya, pintu itu hanya muncul tiga kali seumur hidup,” kata Kakek
Zalo.
“Apa
yang menyebabkan pintu itu muncul Kek?” tanya Hana memotong pembicaraan Kakek
Zalo.
“Tidak
ada yang mengetahui penyebab dari kemunculan pintu itu. Sejarah hanya
mengatakan bahwa pintu itu muncul tiga kali seumur hidup, dan ini yang ketiga
kalinya pintu itu muncul. Jadi bukan salah kalian jika kalian menemukan pintu
itu dan masuk ke Kota Panji ini,” jawab Kakek Zalo.
Setelah
mendengar cerita dari Kakek Zalo, Nori langsung meminta maaf pada Hana dan
Naru. Untuk menebus kesalahan Nori, Nori dan Jum mengajak Hana dan Naru pergi
jalan-jalan mengitari kota Panji. Di perjalanan, Hana terkagum-kagum melihat
benda besar kejinggaan di langit yang terlihat seperti matahari.
“Nori,
apa itu?” tanya Hana sambil tersenyum.
“Itu
adalah sumber kehidupan penduduk Kota Panji, namanya adalah xetna. Xetna selalu
menyinari Kota Panji dari pagi hingga menjelang malam hari. Pada malam hari
xetna dipadamkan oleh operator xetna, ini ditujukan untuk penghematan energi
xetna,” jawab Nori.
“Ohhh,,,
di atas sana kami juga punya benda yang sama seperti xetna, namanya matahari.
Bedanya, matahari tidak membutuhkan seseorang sebagai pengatur waktu fungsi
penyinarannya,” balas Hana.
Setelah
lama berjalan, mereka beristirahat di depan rumah tua yang sangat megah, rumah
ini terlihat seperti tidak ada penghuninya. Saat mereka beristirahat, Jum lari
masuk ke dalam rumah tua tersebut. Hana, Naru, dan Nori segera mengejar Jum,
namun Jum berlari sangat kencang, sehingga Jum tidak terlihat lagi. Hana, Naru,
dan Nori berusaha mencari Jum berjam-jam. Tak lama kemudian, mereka menemukan
Jum berdiri gugup di depan sebuah ruangan. Narupun segera melihat isi dari
ruangan tersebut. Di dalam ruangan tersebut, terlihat banyak peralatan ilmuan
beserta profesor yang sedang mencampurkan ramuan.
Profesor
tersebut pergi ke sudut ruangan dan meneteskan ramuannya pada sebuah benda yang
terlihat seperti tumpukan bantal.
“Hahahhahahhahahhaha..
Sebentar lagi rencanaku untuk menguasai Kota Panji akan terwujud,” kata
profesor itu sambil meneteskan ramuan ke tumpukan bantal tersebut.
Naru
kaget ketika melihat tumpukan bantal itu bangkit, dan ternyata
tumpukan-tumpukan itu berubah menjadi 3 sosok monster menakutkan.
“AAAHHHHHHHHH…….,”
teriak Jum histeris.
Profesor
mendengar teriakan Jum, dan kemudian menyuruh para monster membinasakan keempat
bocah tersebut. Mereka lari sekencang mungkin, namun monster-monster itu hanya
mengejar sampai di ujung pintu saja.
Naru,
Hana, Nori, dan jum tetap melangsungkan langkah lari mereka. Sambil terengah,
Nori menceritakan tentang profesor yang mereka temui tadi. “Hana, Naru,
profesor yang kalian lihat tadi itu adalah Prof. Jatmiko. Dia adalah orang yang
selalu ingin menguasai Kota Panji. Dia sudah pernah dihukum penjara selama 10
tahun karena telah membunuh bapak wali Kota Panji, namun hukuman penjara itu
telah berlalu sekitar 2 tahun lalu.”.
Mereka
terus berlari ke tempat ibu wali Kota Panji untuk menceritakan pada beliau
bahwa Prof. Jatmiko telah membuat monster untuk menghancurkan penduduk Kota Panji.
Sebelum bertemu dengan ibu wali kota, mereka harus melapor pada asisten ibu
wali kota. Akan tetapi, asisten ibu wali kota tidak mengijinkan mereka bertemu
dengan ibu wali kota, karena ia pikir anak kecil seperti Hana, Naru, Nori, dan
Jum hanya membuang waktu ibu wali kota saja.
Namun
mereka tetap berusaha bertemu dengan ibu wali kota. Akhirnya Jum mendorong
asisten ibu wali kota hingga terjatuh, kemudian mereka lari ke ruangan ibu wali
kota.
“Bu
wali kota, tadi saya bertemu dengan Prof. Jatmiko di dalam rumah tua di Jl. PB
Sudirman. Prof. Jatmiko membuat 3 sosok monster untuk menghancurkan penduduk
kota. Sebaiknya ibu segera mengumumkan pada penduduk kota agar segera waspada,”
kata Nori dengan wajah penuh ketakutan
“Apa
yang kamu katakan? Menurut data dari petugas, Prof. Jatmiko sudah menjadi orang
baik sejak ia dipenjara selama 10 tahun!” bantah ibu wali kota.
Ibu
wali kota tetap membantah pernyataan dari Nori. Ia tidak percaya dengan
pernyataan keempat bocah tersebut.
Pada malam hari, monster itu menyerang
sebagian Kota Panji. Sejak itu ibu wali kota percaya bahwa Prof. Jatmiko
kembali berbuat jahat dan ia telah berhasil dengan rencananya untuk
menghancurkan Kota Panji.
Di sisi lain tepatnya di rumah
Nori, Hana dan kawan-kawan kebingungan mencari solusi masalah ini, kecuali Jum
yang sedang asyik membaca buku ceritanya.
“Naru, apa yang harus kita
lakukan?” tanya Hana gelisah.
“Tenang Hana, tenang! Kita
pasti bisa menyelesaikan masalah ini,” jawab Naru.
“Iya tapi bagaimana caranya?”
tanya Hana kembali dengan linangan air mata di mata indahnya.
Naru hanya bisa menundukkan
kepala karena tak sanggup melihat tangisan sahabatnya itu. Waktu terus
berjalan, sedikit demi sedikit mereka mulai pasrah menghadapi nasib mereka yang
cepat atau lambat akan dimangsa oleh para monster. Dengan pasrah Hana
menundukkan kepalanya dan tidak sengaja melihat buku cerita milik Jum. Hana
mengambil buku cerita milik Jum dan kemudian tersenyum ke arah Naru.
“Naru, lihat ini! Bukankah
monster di buku ini mirip dengan monster buatan Prof. Jatmiko?” tanya Hana.
“Ya, kamu benar. Di buku
cerita ini tertulis monster ini dapat dikalahkan oleh mega sinar yang sangat
terang. Buku ini bukan hanya sekedar buku cerita, buku ini adalah petunjuk bagi
kita,” jawab Naru penuh semangat.
“Mengapa kita tidak mencoba
melakukan ini? Mega sinar yang dimaksud dalam buku ini mungkin adalah xetna,
dan kita harus menjebak para monster untuk terkena sinar dari xetna,” kata Nori
menyambung pembicaraan.
“Ya, mega sinar itu tidak lain
adalah xetna. Besok pagi kita harus laporkan rencana kita ini pada ibu wali
kota,” kata Kakek Zalo menegaskan.
“Mengapa harus menunggu besok
Kek? Kenapa tidak sekarang saja? Lebih cepat kan lebih baik,” balas Naru.
“Jika kita keluar rumah
sekarang, maka para monster akan mengejar kita. Karena pada malam hari xetna
dipadamkan,” jawab Kakek Zalo tegas.
Akhirnya mereka memutuskan
untuk pergi ke ibu wali kota esok hari.
Keesokan harinya, Hana, Naru,
Nori, Jum, dan Kakek Zalo pergi ke kantor ibu wali kota. Mereka menceritakan
rencana mereka, wali kotapun menyetujui rencana mereka.
Namun keberuntungan tidak
berpihak pada mereka. Prof. Jatmiko telah memadamkan xetna terlebih dahulu
sebelum mereka menjebak para monster. Kota Panji menjadi gelap, hanya tersisa
seberkas cahaya yang berasal dari lampu-lampu kota yang tersisa.
“Kek, sekarang apa yang harus
kita lakukan?” tanya Hana sambil menangis.
“Nori pernah mengatakan pada
kakek, bahwa kata kalian di atas sana ada benda besar bersinar terang layaknya
xetna?” Kakek Zalo bertanya balik.
“Iya Kek, lantas apa yang
harus kita tunggu lagi? Kita harus segera membawa monster-monster itu ke pintu
tempat pertama kali saya dan Hana masuk ke kota ini,” kata Naru.
Beberapa menit kemudian,
monster-monster itu menemukan keberadaan mereka dan kemudian mengejar mereka. Hana
dan kawan-kawan lari ke tempat pintu yang tembus ke atas permukaan. Di tengah
perjalanan, Kakek Zalo terjatuh.
“Kek, Kakek harus kuat! Ayo
Kek lari!,” perintah Jum sambil menangis.
“Jum cucuku yang manis dan
Nori cucuku yang tegar, kakek tidak apa-apa. Sekarang sudah tiba saatnya kalian
untuk melihat keindahan di luar sana. Tempat kalian bukan di sini, kalian harus
mengikuti Hana dan Naru,” pesan Kakek Zalo pada kedua cucunya.
Monster semakin mendekati
Kakek Zalo, Nori dan Jum. Dengan seketika, salah satu monster langsung
menindihi dada Kakek Zalo dan mencabik-cabik isi perutnya. Dua monster lainnya
hendak menangkap Jum yang berada di dekat Kakek Zalo, namun Nori menarik Jum
pergi dan kemudian mereka meneruskan lari ke tempat pintu yang akan tembus
permukaan.
Pintu menuju permukaan telah
di depan mata. Naru membuka pintu yang terletak di langit-langit itu dengan
menggunakan bantuan tali yang ia bawa di dalam tasnya. Setelah pintu terbuka,
Naru, Hana, Jum, dan Nori memanjat tali tersebut untuk sampai dipermukaan
tanah. Monster-monster yang mengejar mereka juga ikut memanjat.
Satu demi satu ketiga monster
itu sampai di permukaan dan melanjutkan mengejar Hana dan kawan-kawan. Namun
pengejaran itu terhenti ketika monster-monster terserbut keluar dari gua dan
terkena sinar matahari. Monster-monster tersebut langsung meleleh tak berdaya,
hanya karung bantal tipis lemah yang tersisa di tanah.
Nori dan Jum lari ke dalam gua
dengan harapan dapat melihat kakeknya untuk yang terakhir kalinya. Namun takdir
berkata lain, pintu itu sudah tidak terlihat lagi. Pintu itu lenyap untuk
selama-lamanya dan tidak akan pernah terlihat lagi. Nori dan Jum hanya bisa
menangis di atas permukaan tanah tempat dimana pintu itu terakhir kali
terlihat.
Hana dan Naru mencoba
menghibur mereka dengan berbagai cara. Beberapa menit kemudian, Hana dan Naru
memberdirikan Nori dan Jum dari persimpuhannya di tanah. Hana dan Naru memenuhi
permintaan terakhir dari Kakek Zalo, yaitu membawa keluar Nori dan Jum dari
kota bawah tanah dan membiarkan mereka hidup di kota yang sebenarnya.
KARYA : ANNISA SARFINA DJUNAEDY
makasih cerpennya..
BalasHapusIjin copas ya gan, ane ada tugas cerpen juga..
Gan ? ane ?
Hapusbahasanya . . .
iqbal : tidak diijinjan copas
Hapusafiff : ayo bayar,namamu sudah dipopulerkan dicerpen ini XD
good
BalasHapusterima kasih :)
Hapussaya sangat merindukan blog ini (penulis)
BalasHapus#lupa e-mail blog masalahnya :'(